Monday, September 5, 2011

Gimmick Arsitektur Hijau pada Penawaran Perumahan Formal Perkotaan

Gimmick Arsitektur Hijau pada Penawaran Perumahan Formal Perkotaan

lutfiprayogi.wordpress.com

Tulisan ini adalah esai Ujian Tengah Semester pada mata kuliah Studi Perumahan Kota.

Gimmick Arsitektur Hijau pada Penawaran Perumahan Formal Perkotaan

Oleh: Lutfi Prayogi

Perubahan iklim ke arah negatif yang berakibat pada berkurangnya daya dukung alam terhadap pemenuhan kebutuhan hidup manusia telah menjadi topik yang menjadi perhatian banyak pihak pada saat ini. Hal ini diperhatikan tidak hanya oleh pihak yang berwenang (pemerintah, organisasi internasional antar-pemerintah), pihak yang memiliki kemampuan dibidangnya (akademisi, praktisi lingkungan), namun juga oleh masyarakat kebanyakan (common people). Mosi yang berkembang secara umum di masyarakat kebanyakan adalah perubahan iklim dan kerusakan lingkungan tersebut harus dicegah dan diminimalisasi kejadiannya. Mosi ini kemudian ditangkap oleh para penyedia perumahan formal, lalu diolah menjadi bagian dari hal yang dijual dalam penawaran perumahan formal mereka, yang mana hal tersebut seringkali diberi judul ‘Arsitektur Hijau’. Namun ada kecenderungan bahwa ‘arsitektur hijau’ yang mereka tawarkan hanya merupakan gimmick belaka, dikarenakan: tidak adanya konsep arsitektur hijau yang jelas dalam penawaran mereka, tidak adanya standar acuan arsitektur hijau yang mereka pegang, serta pelaksanaan arsitektur hijau dan tindakan ramah lingkungan berbasis popularitas oleh mereka.

Berdasarkan beberapa sumber, arsitektur yang melakukan kontra-aksi terhadap kerusakan lingkungan lebih tepat disebut ‘arsitektur berkelanjutan’, bukan ‘arsitektur hijau’. Masih dari berbagai sumber, arsitektur berkelanjutan diartikan sebagai bidang dalam ilmu arsitektur yang proses perancangannya memperhatikan keberlanjutan daya dukung lingkungan tempat hasil perancangan itu berada. Frase ‘arsitektur hijau’ sendiri pada akhirnya lebih banyak digunakan pada penawaran perumahan formal (yang berorientasi laba), dengan anggapan bahwa konsumen lebih mudah memahami kata ‘hijau’ sebagai kata yang mewakili lingkungan alam yang baik.

Kerancuan pemahaman atas ‘arsitektur berkelanjutan’ sebagai bidang ilmu arsitektur dengan ‘arsitektur hijau’ sebagai istilah komersial, menjadi salah satu penyebab tidak adanya konsep arsitektur hijau yang jelas dalam perumahan formal yang ditawarkan penyedia. Dengan orientasi laba, penyedia akhirnya hanya menyediakan arsitektur hijau sebagaimana yang dipahami luas oleh masyarakat. Pemahaman paling umum arsitektur hijau adalah rumah/perumahan yang:

  • Memiliki banyak tumbuhan disekitarnya
  • Berada di lingkungan dengan lingkung alami yang menarik; sungai, danau, perbukita, dsb
  • Berada di lingkungan dengan udara segar dan layak dihirup
  • Memiliki air tanah jernih dan dapat dimanfaatkan
  • Memiliki banyak lahan terbuka hijau di sekitarnya
  • Memiliki taman di kompleks perumahan
  • Ada beberapa persen lahan di rumah dan perumahan yang dipertahankan sebagai area hijau
  • Jauh dari kepadatan aktivitas, keramaian, dan kebisingan
  • Memiliki banyak warna hijau dan warna-warna benda alam lain maupun benda-benda alam artifisial di lingkungannya
  • Ada kata ‘hijau’ atau ‘green’ ataupun ada gambar benda pada nama dan logo perumahan, dsb.

Kriteria rumah ber-arsitektur hijau pada pemahaman umum tersebut tentunya tidak cukup untuk dapat melakukan kontra-aksi terhadap keruskan lingkungan. Sebaliknya, konsep-konsep arsitektur berkelanjutan yang ditujukan untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan justru tidak diterapkan pada ‘perumahan-perumahan ber-arsitektur hijau’ tersebut. Disarikan dari berbagai sumber, arsitektur berkelanjutan adalah bangunan/rumah/perumahan yang:

  • Efisien dalam penggunaan energi. Dianjurkan agar seluruh energi dapat dipenuhi sendiri (zero-energy), atau bila memungkinkan, bangunan dapat menghasilkan energi tambahan (zero-plus);
    • penggunaan pembangkit listrik skala mikro (panel surya, turbin angin, dsb)
    • efisensi sistem HVAC (Heating, Ventilating, Air Conditioning) dalam bentuk penggunaan ventilasi silang, penyimpanan panas dalam bangunan, dsb
  • Menggunakan material berkelanjutan;
    • tidak mengeskploitasi alam
    • tidak menggunakan banyak energi dalam proses produksi, transportasi, pemasangan, maupun perawatan
  • Efisien dalam pengelolaan limbah, dianjurkan agar perumahan tidak mengasilkan limbah sama sekali (zero waste) untuk dibuang ke luar perumahan;
    • pengeloaan limbah air, penyerapan air hujan
    • daur ulang sampah non-organik
    • pemberdayaan sampah organik
  • Meminimalisasi penggunaan energi dalam kegiatan dan mobilitas penghuni dalam beraktivitas baik di dalam maupun keluar lingkungan:
    • penyediaan sarana transportasi umum, baik didalam perumahan maupun keluar perumahan (ke pusat kota, tempat kerja, dll0
    • penyediaan sarana publik didalam perumahan (rumah ibadah, sekolah, ruang terbuka hijau, dsb)
  • Memungkinkan manusia berkegiatan tanpa merusak ekosistem sekitarnya

Ketika tidak memperhatikan kriteria diatas, ‘perumahan ber-arsitektur hijau’ menjadikan ‘arsitektur hijau’ sebagai gimmick yang hanya berfungsi untuk menangkap calon konsumen, namun berperan tidak optimal pada proses pencegahan kerusakan lingkungan.

Penyedia perumahan formal menggunakan embel-embel ‘hijau’ pada penawarannya, sebagian besar didasarkan sebagai cara untuk menarik minat calon konsumen. Kata ‘hijau’, ‘arsitektur hijau’, maupun ‘perumahan hijau’ tersebut tidak memiliki pengesahan apapun dari lembaga apapun. Selain Izin Mendirikan Bangunan (IMB), tidak ada instrumen peraturan dari pemerintah yang menilai kualitas suatu rumah/bangunan dan pengaruhnya terhadap lingkungan. Tidak ada juga lembaga non-pemerintah yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas untuk menilai hal tersebut.

Ketiadaan standar berupa instrumen hukum maupun pengakuan non-formal berpengaruh luas menyebabkan penyedia perumahan dan mengklaim produknya sebagai ‘perumahan hijau’ secara sepihak, termasuk apabila ia telah memenuhi satu atau beberapa kriteria ‘arsitektur hijau’ versi masyarakat umum diatas.

Hal tersebut diperburuk oleh ketidaktahuan (atau mungkin, ketidakpedulian?) terhadap standar arsitektur berkelanjutan yang diterapkan di beberapa negara maju, seperti standar LEED (Leadership in Energy and Environmental Design) yang diterapkan di Amerika Serikat, HQE (Haute Qualité Environnementale) yang diterapkan di Prancis, dll. Standar tersebut tentunya dapat dijadikan acuan non-formal dalam pengembangan perumahan hijau oleh penyedia perumahan.

Penyedia perumahan juga sering kali rancu dalam membedakan ‘perumahan hijau-berkelanjutan’ dengan ‘kegiatan menikmati/melestarikan lingkungan’. Beberapa perumahan memiliki area dimana masyarakat dapat berinteraksi dengan alam, seperti arena outbound, sawah artifisial, perbukitan, dsb. Beberapa lainnya memiliki area komersial bertemakan alam, seperti taman bermain alam bertema hutan, restoran bertema danau, dsb. Beberapa lainnya lagi memiliki area yang memungkinkan masyarakat belajar mengenai dan melestarikan alam, seperti kebun pembibitan (nursery), taman konservasi, taman belajar alam, kebun bercocok tanam, dsb.

Beberapa perumahan kemudian mengklaim kegiatan dan area-area tersebut sebagai bagian dari program ‘perumahan hijau’-nya. Mereka memanfaatkan popularitas kegiatan dan area tersebut di kalangan masyarakat untuk mengesahkan klaim tersebut. Klaim tersebut tentunya tidak sepenuhnya salah, mengingat salah satu kriteria ‘arsitektur berkelanjutan’ adalah keberlanjutan dalam hal ekologi; kegiatan manusia tidak boleh merusak ekosistem di sekitarnya. Proses pembelajaran dalam kegiatana dan di area-area tersebut tentunya mendukung keberlanjutan ekologi tersebut.

Iklan penawaran Serpong Green Park

Iklan penawaran Serpong Green Park

Gambar 1 – Iklan penawaran Serpong Green Park

Gambar diatas adalah salah satu contoh iklan penawaran perumahan formal yang dipenuhi dengan gimmick perumahan hijau;

  • Penggunaan kata ‘Green’ pada nama perumahan
  • Penggunaan bentuk seperti daun pada logo perumahan
  • Dominasi penggunaan warna hijau
  • Informasi fasilitas ‘alam’ di perumahan:
    • Greenery Garden with Gazebo
    • More than 100 Tabebuya Trees
    • Foto sebuah keluarga berlatar belakang pohon palem
  • Penggunaan warna hijau pada gerbang perumahan

Dapat disimpulkan, masih banyak penyedia perumahan formal yang menggunakan gimmick ‘arsitektur/rumah/perumahan hijau’ pada produk-nya, tanpa disertai aplikasi arsitektur berkelanjutan pada produknya tersebut. Dengan latar belakang keterdesakan untuk meminimalisasi dampak kerusakan lingkungan, maka para penyedia perumahan tersebut harus didorong untuk dapat memproduksi perumahan hijau-berkelanjutan yang sebenarnya.

Sumber:

-. “Tak Hanya Sekedar Hijau”. Majalah Rumahku Edisi Khusus Properti 2010.

-. “Puri Botanical Residence: Pemukiman Berkonsep Hijau di Lingkungan Urban”. Majalah Rumahku Edisi Khusus Properti 2010.

-. “Serpong Green Park: Rumah Idaman Bernuansa Hijau”. Majalah Rumahku Edisi Khusus Properti 2010.

-. “Sustainable Architecture”. http://en.wikipedia.com/sustainable_architecture.htm (Maret 2010)

-. “Green Building”. http://en.wikipedia.com/green_building.htm (Maret 2010)

-. “Haute Qualite Environmentale”. http://en.wikipedia.com/haute_qualite_environmentale.htm (Maret 2010)

No comments: